Sunday, January 3, 2010

Islam dan Demokrasi

Demokrasi, kata inilah yang sering dielu-elukan dan dibahas di dunia di akhir abad ke-20. Demokrasi sendiri sering dianggap sebagai panghargaan atas hak-hak manusia, kemudian dianggap sebagai keikutsertaan rakyat dalam mengambil keputusan, dan juga dianggap sebagai persamaan hak di depan hukum.
Demokrasi sendiri memang lahir di barat, secara historis demokrasi lahir pada 508 SM, yang dilaksanakan oleh kaisar Cleisthemes di Athena, Cleisthemes menganggap sistem pemerintahannya, sebagai sistem pemerintahan rakyat. Kemudian jika dilihat dari fungsinya sebagai penghargaan atas hak-hak manusia, bisa dikatakan demokrasi dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris, yang intinya membatasi kekuasaan raja yang absolut.
Demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang baik, apalagi setelah jatuhnya sistem pemerintahan komunis di Uni Soviet dan mulai tumbangnya pemerintahan otoriter di tangan rakyat.
Tetapi walaupun banyak negara yang berpindah ke sistem pemerintahan demokrasi, tidak demikian dengan negara Muslim, Belum ada negara Islam demokrasi yang dapat dijadikan model negara demokrasi, tidak juga Indonesia atau bisa disebut belum, karena Indonesia sebenarnya juga bukan negara Islam, tetapi negara yang penduduknya mayoritas Muslim.
Beralih ke Indonesia, sekarang Indonesia telah memakai sistem demokrasi seutuhnya, atau disebut dengan Demokrasi Pancasila. Setelah menjalani sistem pemerintahan demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama dan sistem pemerintahan yang otoriter pada rezim Orde Baru Presiden Soeharto, Indonesia merasa terlahir kembali dan memiliki jiwa yang baru yang berasal dari reformasi.


Di sini timbul permasalahan, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, menganut sistem pemerintahan demokrasi, yang jelas-jelas berasal dari dunia barat. Timbul pertentangan, apakah Islam yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia kompatibel dan sejalan dengan demokrasi?

Sebenarnya ada beberapa prinsip Islam yang sesuai dengan demokrasi, yaitu : 1. Syura (Musyawarah)
Musyawarah dijelaskan dalam QS.42:28, yang berisi perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah.
2. Keadilan
Artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58. Prinsip keadilan dalam sebuah negara memang sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”.
3. Kesejajaran (al-Musawah)
Artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Ayat Al-Qur’an yang sering digunakan adalah QS. Al-Hujurat ayat 13.
4. Kebebasan Untuk Hidup
Ini dijelaskan pada QS.17:33 dan QS.5:52 yang menyebutkan bahwa manusia mempunyai kemuliaan dan martabat yang tinggi dibandingkan mahluk yang lain, sehingga manusia diberi kebebasan unuk hidup dan merasakan kenikmatan dalam kehidupannya.
5. Prinsip Persamaan
Dijelaskan pada QS.49:13 yaitu pada dasarnya semua manusia itu sama, karena semuanya adalah hamba Allah, yang membedakan manusia dengan manusia lainnya adalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
6. Kebebasan Menyatakan Pendapat
Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia agar mau dan berani menggunakan akal pikiran mereka untuk menyatakan pendapat yang benar dan dipenuhi rasa tanggung jawab.
7. Kebebasan Beragama
Allah secara tegas telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menganut dan menjalankan agama yang diyakini kebenarannya, sehingga tak seorangpun dapat dibenarkan memaksa orang lain untuk masuk Islam. Perintah ini terdapat dalam QS.2:256, QS.88:22, dan QS.50:45.
Inilah yang menjadi dasar seseorang yang menyatakan bahwa Islam sejalan dan kompatibel dengan demokrasi.
Tetapi ada pula prinsip-prinsip Islam yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu :
1. Perbedaan sumber
Demokrasi bersumber dari pikiran atau akal manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Perbedaan derajat antara Muslim dan Non-Muslim
Dalam Islam derajat orang Muslim lebih tinggi daripada Non-Muslim, sedangkan pada demokrasi derajat orang Muslim dan Non-Muslim sama.
Dalam masalah inilah sepertinya Islam tidak menghormati prinsip kesetaraan.
Sebenarnya ada 2 faktor yang membuat kita membicarakan Islam dan Demokrasi sekarang, yaitu :
1. Tampilnya Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar yang menganut paham demokrasi
2. Terpilihnya Obama menjadi Presiden Amerika Serikat yatu kiblat demokrasi sebagai penurun tensi ketegangan antara Amerika dan dunia Islam.

Saat Indonesia ditetapkan sebagai negara demokrasi dulunya, tidak ada pertanyaan yang diajukan maupun pertimbangan tentang apakah Islam kompatibel dengan demokrasi.
Suara demokrasi lebih disuarakan karena didorong kebutuhan untuk memiliki lebih banyak ruang dan lebih banyak pendapat bagi masyarakat dan orang-orang yang berada di non-negara, jadi bukan oleh nilai-nilai agamanya.
Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin.
Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, diamana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.
Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar.
Bahkan Huntington mengidentikkan demokrasi dengan the Western Christian Connection. Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.
Oleh karena itu saya sering tidak setuju dengan pendapat-pendapat yang menyatakan Islam bertentangan dengan demokrasi, mereka tidak melihat demokrasi itu sebagai hal yang universal, mereka mengatakan demokrasi itu salah, dan menganggap sepertinya kita itu telah berdosa jika menggunakan paham demokrasi.
Saya pikir tidak, karena pertanyaan tentang Islam dan demokrasi sendiri lahir karena kita yang berada di Indonesia memiliki mayoritas penduduk Islam dan menganut demokrasi, tapi coba bayangkan, jika kita berada di suatu negara dimana Islam adalah minoritas, dan negara ini menganut paham demokrasi, apakah kita salah jika mengikuti sistem pemerintahan negara tersebut? Toh pada dasarnya kita masih berpegang teguh pada syariat Islam.
Indonesia adalah negara yang universal, jadi sudah sepantasnya kalau kita menganggap demokrasi hanyalah sistem pemerintahan yang dipakai untuk sebuah negara, tapi bukan ingin dicaampuradukkan dengan agama itu sendiri, janganlah kita menganggap semua produk barat itu buruk, jika kita menolak demokrasi hanya karena demokrasi berasal dari barat dan Islam dari timur, jadi tidak cocok begitu, ini salah besar, kalau seperti ini pemahaman kita, mungkin lebih baik kita, tidak usah menonton TV, karena TV produk barat, atau tidak usah lagi baca koran, karena mesin pencetak koran adalah produk barat, bahkan kalau perlu tidak usah pakai celana jeans, karena nyatanya resleting yang kita pakai asalnya dari Inggris.
Jadi sebenarnya tidak ada salahnya jika kita memakai paham demokrasi, karena kita bisa membuang ajaran-ajaran yang tidak baik dari demokrasi, dan mengambil ajaran-ajaran yang benar, lagipula demokrasi juga timbul karena rasa kasih sayang dan ingin hidup berdampingannya manusia.






















Daftar Pustaka
Effendy, Bahtiar. Islam and Democracy in Indonesia Prospects and Challenges. 2009
Wahyuddin dkk. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Jakarta. Grasindo
http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/sosial-politik/1166-islam-dan-demokrasi.html
http://ummahonline.wordpress.com/2008/01/29/islam-dan-demokrasi/
http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003k.asp
http://www.zulkieflimansyah.com/in/kompatibilitas-islam-dan-demokrasi.html

No comments:

Post a Comment